بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بع
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualikum wa rahmatullahi Wa barakatuh.
Didalam beramal kita diperintahkan Oleh Allah Swt. Dan rasulnya Hendahlah benar Dan ikhlas.
Ada Hadits yang berbunyi: "Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal, yang amal itu tidak ada contoh dariku kata Rasullulah, maka Amalan Itu di tolak."
Dari itu kita sebagai umat musli,Mu'min hendaklah berkaca terlebih dahulu Kepada beliau. jika Kita mau melakukan suatu Amal
Adapun kita beramal haruslah dengan Ikhlas Mengerjakannya
Sebagaima Sbda rausulullah Saw;
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karena-Nya dan mengharap wajah-Nya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Jika Kita merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”
Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
HENDAKLAH BERJUANG DENGAN IKHLAS
Rasulullah saw. bersabda, “Allah telah menjamin bagi orang yang berjihad di jalan Allah, tidak ada yang mendorongnya keluar dari rumah selain jihad di jalan-Nya dan membenarkan kalimat-kalimat-Nya untuk memasukkannya ke surga atau mengembalikannya ke tempat tinggal semula dengan membawa pahala atau ghanimah.” (Diriwayarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak orang yang berjuang. Tapi tidak sebanyak itu yang berjuang dengan ikhlas. Melalui interaksi dengan Kitabullah dan Nabi Muhammad saw., para sahabat memahami betul bahwa memurnikan (mengikhlaskan) orientasi dan amal hanya untuk Allah adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawa-tawar lagi. Mereka meyakini sepenuhnya bahwa hal itu merupakan kunci untuk memperoleh pertolongan dan dukungan Allah dalam setiap pertempuran yang mereka terjuni, menghadapi musuh-musuh mereka, baik musuh dari dalam diri maupun dari luar mereka. Mereka mendengar firman Allah swt.:
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah (9):120]
Para sahabat memahami hal itu dan mengaplikasikannya dalam diri mereka. Maka dampaknya pun terlihat dalam perilaku mereka. Syadad bin Al-Hadi mengatakan, seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah saw. lalu beriman dan mengikutinya. Orang itu mengatakan, “Aku akan berhijrah bersamamu.” Maka Rasulullah saw. menitipkan orang itu kepada para sahabatnya. Saat terjadi Perang Khaibar, Rasulullah saw. memperoleh ghanimah (rampasan perang). Lalu beliau membagi-bagikannya dan menyisihkan bagian untuk orang itu seraya menyerahkannya kepada para sahabat. Orang itu biasa menggembalakan binatang ternak mereka. Ketika ia datang, para sahabat menyerahkan jatahnya itu. Orang itu mengatakan, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu yang dijatahkan oleh Rasulullah saw.” Orang itu mengatakan lagi, “Aku mengikutimu bukan karena ingin mendapatkan bagian seperti ini. Aku mengikutimu semata-mata karena aku ingin tertusuk dengan anak panah di sini (sambil menunjuk tenggorokannya), lalu aku mati lalu masuk surga.” Rasulullah saw. mengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah, maka Dia akan meluluskan keinginanmu.” Lalu mereka berangkat untuk memerangi musuh. Para sahabat datang dengan membopong orang itu dalam keadaan tertusuk panah di bagian tubuh yang ditunjuknya. Rasulullah saw. mengatakan, “Inikah orang itu?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. berujar, “Ia telah jujur kepada Allah, maka Allah meluluskan keinginannya.” Lalu Rasulullah saw. mengafaninya dengan jubah beliau kemudian menshalatinya. Dan di antara doa yang terdengar dalam shalatnya itu adalah: “Allaahumma haadza ‘abduka kharaja muhaajiran fii sabiilika faqutila syahiidan wa ana syahidun ‘alaihi” (Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Dia keluar dalam rangka berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya).” (Diriwayatkan oleh An-Nasai)
Anas Bin Malik –-semoga Allah meridhainya– menceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. seraya mengatakan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku orang hitam, buruk rupa, dan tidak punya harta. Jika aku memerangi mereka (orang-orang kafir) hingga terbunuh, apakah aku masuk surga?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” Lalu ia maju dan bertempur hingga terbunuh. Ia lalu dibawa kepada Rasulullah saw. dalam keadaan sudah meninggal. Rasulullah saw. mengatakan, “Sungguh Allah telah membuat indah wajahmu, membuat harum baumu, dan membuat banyak hartamu.” Beliau kemudian melanjutkan, “Aku telah melihat kedua isterinya dari kalangan bidadari mereka berebut jubah yang dikenakannya. Mereka masuk antara kulit dan jubahnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim)
Begitulah para sahabat mempraktikkan ikhlas dalam perjuangan. Dan begitu pulalah seharusnya kita mempraktikkannya. Dan jika ada bersitan dalam jiwa selain keikhlasan, maka hendaknya kita ingat hal-hal berikut ini:
Pertama, bahwa Allah mengawasi, mengetahui, mendengar, melihat kita. Firman-Nya: “Dan Dialah Allah (Yang Disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan; dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” [Al-An'am (6): 3]
, bahwa Allah mengawasi, mengetahui, mendengar, melihat kita. Firman-Nya: [Al-An'am (6): 3]
Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Ali Imran (3): 29]
[Ali Imran (3): 29]
Kedua, bahwa orang yang riya (ingin dilihat orang) atau sum’ah (ingin didengar orang) dalam beramal akan dibongkar oleh Allah semenjak di dunia sebelum di akhirat. Dan mereka tidak mendapatkan bagian dari amal mereka selain dari apa yang dinginkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang ingin (amalnya) didengar orang, maka Allah akan membuatnya didengar; dan siapa yang ingin (amalnya) dilihat orang, maka Allah akan membuatnya dilihat orang.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
, bahwa orang yang (ingin dilihat orang) atau (ingin didengar orang) dalam beramal akan dibongkar oleh Allah semenjak di dunia sebelum di akhirat. Dan mereka tidak mendapatkan bagian dari amal mereka selain dari apa yang dinginkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang ingin (amalnya) didengar orang, maka Allah akan membuatnya didengar; dan siapa yang ingin (amalnya) dilihat orang, maka Allah akan membuatnya dilihat orang.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Ketiga, bahwa kekalahan yang diderita kaum Muslimin dewasa ini adalah akibat ulah kita sendiri. Firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” [Yunus (10): 44]
, bahwa kekalahan yang diderita kaum Muslimin dewasa ini adalah akibat ulah kita sendiri. Firman-Nya: [Yunus (10): 44]
Keempat, bahwa ketidak-ikhlasan menghancurkan amal, besar maupun kecil. Dan dengan demikian berarti kita telah membuat perjuangan kita bertahun-tahun sia-sia belaka. Allah swt. berfirman: “Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang telah melakukan kezaliman.” [Thaha (20): 111]. “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqan (25): 23]
, bahwa ketidak-ikhlasan menghancurkan amal, besar maupun kecil. Dan dengan demikian berarti kita telah membuat perjuangan kita bertahun-tahun sia-sia belaka. Allah swt. berfirman: [Thaha (20): 111]. [Al-Furqan (25): 23]
Dan Rasulullah saw. bersabda, “Aku benar-benar mengetahui orang-orang dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah. Lalu Allah menjadikannya bagaikan debu yang tertiup angin.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, terangkanlah sifat mereka kepada kami agar kami tidak seperti mereka, karena kami tidak mengetahui mereka.” Rasulullah saw. menjelaskan, “Mereka adalah termasuk saudara-saudara kamu dan seperti kulitmu. Mereka menggunakan waktu malam seperti yang kamu lakukan, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang jika berhadapan dengan larangan-larangan Allah mereka melanggarnya.” (Riwayat Ibnu Majah)
Kelima, orang-orang yang beramal bukan karena Allah adalah orang yang pertama dibakar untuk menyalakan neraka. Dalam hadits panjangnya, Rasulullah saw. menjelaskan nasib tiga kelompok manusia yang celaka di hari akhirat karena beramal dengan riya.
, orang-orang yang beramal bukan karena Allah adalah orang yang pertama dibakar untuk menyalakan neraka. Dalam hadits panjangnya, Rasulullah saw. menjelaskan nasib tiga kelompok manusia yang celaka di hari akhirat karena beramal dengan riya.
Keenam, orang-orang yang riya akan menjadi teman setan pada hari kiamat di dalam neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah bagi kita kisah Quzman, seperti yang diterangkan oleh Qatadah –semoga Allah meridhainya. Beliau menjelaskan, “Di antara kami ada orang asing dan diketahui siapa dia. Ia dipanggil Quzman. Adalah Rasulullah saw. setiap disebut namanya selalu mengatakan bahwa dia termasuk penghuni neraka. Saat terjadi Perang Uhud, Quzman terlibat dalam pertempuran sengit sampai berhasil membunuh delapan atau tujuh orang musyrik. Memang dia orang kuat. Lalu ia terluka lalu dibopong ke rumah Bani Zhufr. Beberapa lelaki dari kaum Muslimin mengatakan kepadanya, ‘Demi Allah, engkau telah diuji hari ini, hai Quzman, maka berbahagialah.’ Quzman menjawab, ‘Dengan apa aku bergembira. Demi Allah sesungguhnya aku berperang tidak lain karena membela nama kaumku. Jika bukan karena hal itu aku tidak akan turut berperang. Ketika merasakan lukanya semakin parah, ia mencabut panah dari tempatnya lalu bunuh diri.” (Al-Bidayah Wan-Nihayah, Ibnu Katsir)
, orang-orang yang riya akan menjadi teman setan pada hari kiamat di dalam neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah bagi kita kisah Quzman, seperti yang diterangkan oleh Qatadah –semoga Allah meridhainya. Beliau menjelaskan, “Di antara kami ada orang asing dan diketahui siapa dia. Ia dipanggil Quzman. Adalah Rasulullah saw. setiap disebut namanya selalu mengatakan bahwa dia termasuk penghuni neraka. Saat terjadi Perang Uhud, Quzman terlibat dalam pertempuran sengit sampai berhasil membunuh delapan atau tujuh orang musyrik. Memang dia orang kuat. Lalu ia terluka lalu dibopong ke rumah Bani Zhufr. Beberapa lelaki dari kaum Muslimin mengatakan kepadanya, ‘Demi Allah, engkau telah diuji hari ini, hai Quzman, maka berbahagialah.’ Quzman menjawab, ‘Dengan apa aku bergembira. Demi Allah sesungguhnya aku berperang tidak lain karena membela nama kaumku. Jika bukan karena hal itu aku tidak akan turut berperang. Ketika merasakan lukanya semakin parah, ia mencabut panah dari tempatnya lalu bunuh diri.” (, Ibnu Katsir)
Kita ingatkan jiwa kita dengan peringatan-peringatan tersebut agar dalam bergerak, berjuang, dan berkorban (tadhhiyah) senantiasa ikhlas karena Allah.
BAHAYANYA RIYA
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
ADAPUN CIRI-CIRI ORANG YANG IKHLAS
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar